Sejarah Konflik Israel dan Palestina
Pendahuluan
Sejarah konflik Israel dan Palestina adalah salah satu sejarah paling kompleks dan lama dari konflik di dunia modern. Dari konflik antaragama, imperium-imperium kuno, kolonialisme, hingga perebutan tanah suci, masing-masing faktor berperan dalam membentuk konflik yang telah berlanjut selama lebih dari seabad ini. Artikel ini akan menguraikan akar-akar sejarah konflik, perkembangan kunci dari waktu ke waktu, dan dampaknya terhadap tatanan internasional.
Latar Belakang Sejarah
Konflik Israel dan Palestina terletak di wilayah Timur Tengah yang dikenal sebagai Palestina. Wilayah ini, yang berisi tempat-tempat suci bagi agama Yahudi, Kristen, dan Islam, meliputi daerah yang sekarang merupakan negara Israel dan wilayah Palestina (Tepi Barat dan Jalur Gaza).
Palestina Kuno hingga Era Ottoman
Pada zaman kuno, wilayah ini dikenal dengan nama Kanaan dan kemudian dikuasai oleh berbagai imperium, termasuk Mesir, Asiria, Babilonia, Persia, dan Yunani di bawah Alexander Agung. Bangsa Yahudi menganggap wilayah ini sebagai Tanah Perjanjian sesuai dengan tradisi dan kitab-kitab suci mereka. Pada abad pertama Masehi, sebagian besar penduduk Yahudi diusir atau dihancurkan oleh Kekaisaran Romawi setelah pemberontakan besar.
Selama berabad-abad, wilayah ini berganti tangan, dari Romawi menjadi Bizantium, dan kemudian kekuasaan Muslim dari abad ke-7. Pada abad ke-16, wilayah ini menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman dan tetap di bawah kekuasaan Ottoman hingga Perang Dunia I.
Zaman Kolonialisme dan Munculnya Nasionalisme
Pada akhir abad ke-19, nasionalisme Yahudi modern muncul dalam bentuk Zionisme, sebuah gerakan yang dipimpin oleh Theodor Herzl. Zionisme bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Yahudi di Palestina sebagai tanggapan terhadap meningkatnya anti-Semitisme di Eropa. Dalam periode yang sama, nasionalisme Arab juga mulai berkembang sebagai bentuk perlawanan terhadap kekuasaan Ottoman dan, kemudian, mandat Eropa.
Setelah Kekaisaran Ottoman kalah dalam Perang Dunia I, Liga Bangsa-Bangsa memberikan Mandat Palestina kepada Britania Raya pada 1920. Britania Raya awalnya mendukung usulan negara Yahudi di bawah Deklarasi Balfour 1917, namun ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab meningkat seiring dengan meningkatnya imigrasi Yahudi ke Palestina di bawah mandat Inggris.
Periode Mandat Britania dan Peningkatan Ketegangan
Pada tahun-tahun antara dua perang dunia, ketegangan antara komunitas Yahudi dan Arab di Palestina semakin meningkat. Arab Palestina merasa terpinggirkan oleh imigrasi Yahudi yang meningkat dan oleh kebijakan Britania yang mereka pandang lebih mendukung Zionis. Hal ini menyebabkan terjadinya bentrokan berdarah seperti pemberontakan Arab 1936-1939.
Setelah Perang Dunia II, dengan munculnya kesadaran global akan penderitaan Yahudi akibat Holocaust, dukungan internasional untuk pendirian negara Yahudi semakin menguat. Pada 1947, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengusulkan Rencana Pembagian Palestina yang bermaksud membagi wilayah tersebut menjadi negara Yahudi dan Arab, dengan Yerusalem sebagai kota internasional. Komunitas Yahudi menerima rencana ini, namun komunitas Arab menolaknya.
Masa-Masa Awal Konflik: 1948–1967
Pada 14 Mei 1948, Dewan Nasional Yahudi menyatakan berdirinya Negara Israel. Keesokan harinya, negara-negara Arab tetangga menyerang, memulai Perang Arab-Israel 1948. Perang ini berakhir pada 1949 dengan gencatan senjata, tetapi tanpa perjanjian damai. Israel menguasai lebih banyak wilayah daripada yang diusulkan dalam rencana PBB, sementara Mesir merebut Jalur Gaza dan Yordania menguasai Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Konflik terus berlanjut dengan perang-perang berikutnya seperti Krisis Suez 1956, Perang Enam Hari 1967, dan Perang Yom Kippur 1973. Selama Perang Enam Hari, Israel menguasai Jalur Gaza, Tepi Barat, Dataran Tinggi Golan, dan Semenanjung Sinai. Penaklukan ini meningkatkan kompleksitas konflik serta memicu perlawanan dari penduduk Palestina dan masyarakat internasional.
Pergerakan Palestina dan Intifada
Setelah Perang Enam Hari, gerakan perlawanan Palestina semakin terkoordinasi dengan pembentukan Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) pada 1964. PLO, di bawah pimpinan Yasser Arafat, berkomitmen untuk mendirikan negara Palestina melalui perjuangan bersenjata.
Pada akhir 1980-an hingga 1990-an, perlawanan Palestina mencapai puncaknya dengan pecahnya Intifada pertama (1987-1993). Intifada ini ditandai dengan bentrokan dan aksi protes massal terhadap pendudukan Israel. Intifada pertama berakhir dengan Perjanjian Oslo pada 1993, yang memberikan otonomi terbatas kepada Otoritas Palestina di beberapa bagian Tepi Barat dan Gaza. Namun, proses perdamaian ini mengalami banyak hambatan dan tidak mengarah pada pembentukan negara Palestina yang independen.
Intifada Kedua dan Hambatan Proses Perdamaian
Kegagalan Perjanjian Oslo mencetuskan Intifada kedua pada 2000-2005, yang lebih brutal dengan banyak korban di kedua belah pihak. Konfrontasi ini semakin memperburuk hubungan antara Israel dan Palestina. Israel mulai membangun Tembok Pemisah di sepanjang Tepi Barat, yang mereka klaim untuk alasan keamanan, namun dikritik sebagai bentuk aneksasi de facto wilayah Palestina.
Upaya Diplomatik dan Kebuntuan
Ada beberapa upaya untuk mencapai perdamaian sejak Intifada kedua, termasuk pertemuan puncak Camp David 2000, inisiatif-anisiatif dari sejumlah negara, dan proposal seperti Peta Jalan bagi Perdamaian yang disusun oleh Kuartet Timur Tengah (AS, PBB, UE, dan Rusia). Namun, semua upaya ini mengalami kebuntuan karena ketidakpercayaan yang mendalam dan perbedaan fundamental atas isu-isu inti seperti batas-batas akhir, status Yerusalem, hak pengungsi Palestina untuk kembali, dan permukiman Israel di Tepi Barat.
Kesimpulan
Sejarah konflik Israel dan Palestina adalah perjalanan panjang yang dipenuhi dengan perang, perjuangan, dan perlawanan yang terus berlanjut hingga hari ini. Konflik ini rumit dan melibatkan banyak faktor mulai dari sejarah kuno, kolonialisme, agama, politik nasional dan internasional, hingga kepentingan pribadi dan kolektif.
Solusi untuk konflik ini tetap sulit dicapai, namun upaya diplomatik dan dialog antar kedua pihak diperlukan untuk mencari jalan keluar yang adil dan damai. Hanya dengan memahami sejarah dan akar permasalahan, dunia internasional mungkin bisa membantu baik Israel maupun Palestina untuk mencapai perdamaian yang sesungguhnya.